Muhammad Ali Ismail


Jumat, 26 November 2010, lagi Presiden Susilo Bambang Yudhoyono melontarkan sebuah statement yang mengundang kontroversi setelah sebelumnya melakukan hal yang sama ketika menanggapi permasalahan yang menimpa Tenaga Kerja Indonesia (TKI), berkaitan dengan pernyataannya yang menyebutkan perlunya membekali TKI dengan handphone. Sebuah pernyataan yang sontak justru membuyarkan hal-hal penting terkait penyelesaian masalah kekerasan yang menimpa para TKI kita. Begitu pula pada Jumat, 26 November 2010, ketika Presiden SBY dalam pidato rapat pengantar Rapat Terbatas, di Kantor Presiden ketika RUU Keistimewaan Yogyakarta. Dalam pidatonya tersebut SBY mengatakan, Rancangan Undang-Undang tentang Keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta tidak boleh mengabaikan nilai-nilai demokrasi, termasuk tetap memperhatikan aspek Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Oleh karena itu nilai-nilai demokrasi tidak boleh diabaikan karena tentu tidak mungkin ada sistem monarki yang bertabrakan baik dengan konstitusi maupun nilai demokrasi.

Pernyataan SBY tersebut dengan cepatnya mengemuka dan ramai diperbincangkan di media, hingga menimbulkan aksi masa dimana SBY dianggap seakan-akan menggugat Keistimewaan Yogyakarta. Berbagai pendapat pun muncul, salah satunya adalah SBY dianggap sengaja mengeluarkan statement-nya tersebut sekedar untuk mengalihkan permasalahan, masalah yang jauh lebih penting bagi bangsa ini.

Ya saya secara pribadi pun merasa demikian. Jika SBY benar ingin menggugat, mengapa bukan kinerja buruk aparat hukum yang digugatnya, mengapa juga bukan masalah penyiksaan TKI yang digugat, atau masalah data rahasia Indonesia yang bocor di Wikileaks. Bukankah hal-hal tersebut lebih penting untuk digugat, ketimbang SBY membicarakan masalah nila demokrasinya yang tidak jelas arahnya kemana. Lagi pula apakah sanggup presiden SBY menggugat Keistimewaan Yogyakarta, wong menggugat perusahaan yang sejak bertahun lalu menyengsarakan masyarakat porong sidoarjo saja tidak mampu.

Satu hal yang sangat ingin saya kritisi dari pernyataan SBY adalah statement-nya yang mengatakan tidak mungkin ada monarki dalam Negara demokrasi. Saya jadi ingin bertanya demokrasi yang mana menurut Presiden SBY itu. Bukankah jelas bahwa demokrasi yang utuh berdasarkan konsep barat tidak mungkin bisa diterapkan secara total di Negara ini. Karena apapun sistem yang ingin diterapkan pada bangsa ini, secara langsung maupun tidak langsung harus disesuaikan dengan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan UUD 45 sebagai dasar Negara republik Indonesia. Lagi pula menggelitik betul pernyataan presiden SBY ketika mengatakan bahwa, sistem 'monarki' dan 'demokrasi' merupakan dua hal yang tidak dapat dipersatukan. Dalam hal ini mungkin apa harus dipertanyakan kepada SBY adalah pengetahuannya tentang sejarah bangsa Indonesia dan kerajaan-kerajaannya. Bahwa dahulunya kerajaan-kerajaan yang berada di Bumi nusantara telah menyatukan dua sistem tersebut, dimana terjadi kerhamonisan antara apa yang disebut presiden SBY dengan istilah 'monarki' dan 'demokrasi'. Dan bagi saya pribadi, dalam era moderen ini keduanya sangat mungkin untuk dipersatukan dan berjalan dengan harmonis, jika saja dapat disesuaikan dengan Pancasila sebagai Ideologi bangsa dan UUD 45 sebagai dasar Negara.

Suatu hal yang sangat disayangkan memang, karena kembali SBY melakukan blunder dengan pernyataan kontroversinya. Dan apa yang sangat disesalkan adalah ketika pernyataan SBY tersebut ditujukan kepada sebuah daerah yang masih dirundung duka akibat bencana. Kepada Presiden SBY, bukankah lebih penting membantu menata kembali rakyatmu ini, ketimbang mengeluarkan pernyataan tidak jelas arah dan tujuannya bagi kesejahteraan rakyatmu yang sedang dengan gigihya bangkit dari keterpurukkan.