Muhammad Ali Ismail


Pada piala dunia 2010 kemarin saya berharap Belanda dapat memboyong trofi piala dunia, namun sayang mereka gagal pada babak final setelah kalah tipis 1-0 dari Spanyol.

Ada dua alasan mengapa saya menjagokan belanda pada piala dunia 2010 kemarin. Pertama karena saya banyak mengidolakan pemain-pemain Belanda, dari era Dennis Bergkamp hingga van Persie. Kedua, karena setelah bergulirnya piala dunia 2010 kemarin ternyata saya mengetahui bahwa beberapa pemain yang tergabung dalam timnas Belanda memiliki darah Indonesia, terutama sang kapten Giovanni van Bronckhorst yang memiliki darah Maluku. Ya dari semua itu tentunya ada sedikit kebanggan untuk mengobati rasa sesak saya atas minimnya prestasi sepak bola Tanah Air.

Namun, dalam tulisan ini dukungan saya terhadap Belanda tidak hanya sebatas dukungan kepada timnas mereka di piala dunia 2010 kemarin. Saya mendukung Belanda atas sikap pemerintahannya baru-baru ini. Pasalnya pada tanggal 5 Oktober 2010 kemarin, karena sikap pemerintahan belanda tersebut, Presiden RI Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) terpaksa membatalkan kunjungannya ke negeri kincir angin tersebut dalam memenuhi undangan kerajaan belanda.

Pembatalan kunjungan oleh Presiden SBY disampaikan dalam pidatonya sesaat setelah membatalkan keberangkatannya, dengan alasan adanya gugatan oleh Republik Maluku Selatan (RMS) yang disidangkan di Pengadilan Den Haag yang meminta untuk menangkap Presiden RI Keenam tersebut. Tragis memang. Terlepas dari fakta sejarah penjajahan Belanda di bumi Nusantara, serta adanya indikasi niatan pemerintahan Belanda dalam mem-backup RMS. Sikap pemerintahan Belanda tersebut dapat diacungi jempol sebagai dukungan terhadap proses hukum yang bebas dari intervensi.

Sikap dari pemerintahan Belanda tersebut mengemuka ketika adanya permintaan dari pemerintahan Indonesia untuk menunda persidangan Hak Asasi Manusia (HAM) yang diajukan oleh kelompok RMS, yang kemudian ditanggapi dengan pernyataan pemerintahan Belanda yang secara tegas menolak dan mengatakan bahwa pemerintahannya tidak akan mengintervensi sebuah proses hukum.

Saya secara pribadi melihat ada sesuatu yang seharusnya dipahami oleh pemimpin bangsa ini. Hal tersebut ialah bagaimana menghargai sebuah proses hukum sebagai jalan untuk mendapatkan keadilan dalam mencari kebenaran. Sayang sikap yang mengemuka justru sebaliknya ditunjukan oleh pemerintahan SBY, yang seingat saya dulu pernah mengeluarkan sebuah statement untuk menjadikan hukum sebagai panglima. Buktinya pada tanggal 7 Oktober 2010, melalui media masa yang saya baca, pengadilan Den Haag menolak gugatan RMS untuk menangkap presiden SBY. Jika memang tidak bersalah kenapa takut?

Ya mungkin sudah menjadi kebiasaan bangsa ini ketika hukum di negara sendiri dapat dipermainkan oleh kekuasaan, lantas meminta negara lain untuk melakukan hal yang sama di negaranya. Terdapat sebuah ironi yang memalukan. Di satu sisi saya melihat ada sikap yang tidak jantan dari pemerintahan Indonesia ketika berhadapan dengan hukum, dan di sisi lain hal ini membuktikan kebiasaan pemerintah Indonesia yang mungkin sudah terbiasa dalam mempermainkan hukum, sehingga mempermainkan hukum menjadi suatu hal yang lumrah ketika dihadapkan dengan sebuah kepentingan.

Hah!!! Selamat datang di Indonesia, di negara ini hukum berlaku sejauh tidak mengganggu kepentingan….di sini, di Indonesia hukum bebas diperjual belikan….uang dan kekuasaan adalah alatnya….